Breaking News

RECENT POSTS

Rabu, 17 Oktober 2012

Teori Metodologi Interaksi Simbolik


Oleh: Muhammad Syafii & Eddy Kurniawan
Latar Belakang
Paradigma definisi sosial adalah salah satu aspek khusus dari karya Weber yang dalam analisanya tentang tindakan social (social Action). Ada tiga teori yang termasuk dalam paradigma definisi social ini yaitu teori Aksi (Action), Interaksionisme Simbolik (symbolic interaktinism), dan fenomenologi (phenomenology). Herbert Blumer sebagai salah seorang tokoh interaksionisme simbolik menyatakan bahwa organisasi masyarakat manusia merupakan kerangka di mana terdapat tindakan sosial yang bukan ditentukan oleh kelakuan individunya.
Interaksi simbolik dalam sosiologi juga menunjang dan mewarnai kegiatan penelitian kualitatif. Sejalan dengan pendekatan fenomenologis, dasar pandangan atas interaksi simbolik adalah asumsi bahwa pengalama n manusia diperoleh lewat iterpretasi. Objek, situasi, orang dan peristiwa, tidak memiliki maknanya sendiri.[[1]
Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan  atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada maknainteraksi budaya sebuah komunitas.
            Interaksi simbolik adalah interaksi yang memunculkan makna khusus dan menimbulkan interpretasi atau penafsiran. Simbolik berasal dari kata ’simbol’ yakni tanda yang muncul dari hasil kesepakatan bersama. Bagaimana suatu hal menjadi perspektif bersama, bagaimana suatu tindakan memberi makna-makna khusus yang hanya dipahami oleh orang-orang yang melakukannya, bagaimana tindakan dan perspektif tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi subyek, semua dikaji oleh para penganut interaksinisme atau interaksionis simbolik.
            Premis perbedaan mendasar antara fenomenologi dan interaksi simbolik muncul dari makna katanya sendiri: fenomena dan interaksi. Fenomenologi bertumpu pada pemahamanterhadap pengalaman subyektif atas gejala alamiah (fenomena) atau peristiwa dan kaitan-kaitannya, sedangkan interaksi simbolik bertumpu pada penafsiran atas pemaknaan subyektif (simbolik) yang muncul dari hasil interaksi. Pada fenomenologi, ibarat fotografer, peneliti ’merekam’ dunia (pengalaman, pemikiran, dan perasaan subyektif) si subyek dan mencoba memahami atau menyelaminya, sedangkan pada interaksi simbolik, peneliti menafsirkan makna-makna simbolik yang muncul dari hasil interaksi subyek dengan lingkungannya dengan cara memasuki dunianya dan menelusuri proses pemaknaan tersebut.
A.    Akar Teori Interaksi Simbolik
Menurut banyak pakar pemikiran George Herbert Mead, sebagai tokoh sentral teori ini, berlandaskan pada beberapa cabang filsafat antara lain pragmatisme, dan behaviorisme.
Ø  Pragmatisme
Dirumuskan oleh John Dewey, Wiliam James, Charles Peirce, Josiah Royce, aliran filsafat ini memiliki beberapa pandangan yaitu [[2] :
  1. Realitas yang sejati tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika kita bertindak di dan terhadap dunia.
  2. Percaya bahwa manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka.
  3. Manusia mendefinisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui berdasarkan kegunaannya bagi mereka, termasuk tujuan mereka.
  4. Bila kita ingin memahami orang yang melakukan tindakan (aktor), kita harus mendasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia.
Ø  Behaviorisme
Menurut Mead, manusia harus dipahami berdasarkan pada apa yang mereka lakukan. Namun, manusia punya kualitas lain yang membedakannya dengan hewan lain. Kaum behavioris berkilah bahwa satu-satunya cara sah secara ilmiah untuk memahami semua hewan, termasuk manusia, adalah dengan mengamati perilaku mereka secara langsung dan seksama. Mead menolak gagasan itu, menurutnya pengamatan atas perilaku luar manusia semata menafikan kualitas penting manusia yang berbeda dengan kualitas alam. Pandangan behavirisme terbagi menjadi dua yaitu :
  1. Behaviorisme Radikal John Watson.
a.  Behaviorisme radikal mereduksi perilaku manusia kepada mekanisme yang sama dengan yang ditemukan pada tingkat hewan lebih rendah (inframanusia).
b.  Manusia sebagai makhluk yang pasif, tidak berfikir, yang perilakunya ditentukan oleh rangsangan di luar dirinya.
c.  Menolak gagasan bahwa manusia memiliki kesadaran, bahwa terjadi suatu proses mental tersembunyi yang berlangsung pada diri individu di antara datangnya stimulus dan bangkitnya perilaku.
2.   Behaviorisme Sosial George Herbert Mead.
a. Behaviorisme sosial merujuk pada deskripsi perilaku pada tingkat yang khas manusia.
b.  Konsep dasarnya ialah tindakan sosial (social act), yang juga mempertimbangkan aspek tersembunyi, yang membedakan perilaku manusia dengan perilaku hewan.
c. Menganggap perilaku manusia sebagai perilaku sosial., sebab substansi dan eksistensi perilaku manusia hanya dapat dijelaskan dengan mempertimbangkan basis sosialnya.
Dapat disimpulkan, bahwa Mead telah memperluas teori behavioristik ini dengan memasukkan apa yang terjadi antara stimulus dan respon itu. Ia berhutang budi pada behaviorisme tetapi sekaligus juga memisahkan diri darinya, karena bagi Mead, manusia jauh lebih dinamis dan kreatif.
Ø  Teori Evolusi Darwin
Teori Darwin menekankan pandangan bahwa semua perilaku organisme, termasuk perilaku manusia, bukanlah perilaku acak, melainkan dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka masing-masing. Organisme juga dapat mempengaruhi lingkungan, sehingga juga mengubah pengaruh lingkungan terhadap organisme.[[3] Aspek pandangan lain Darwin yang dianggap berpengaruh tersebut adalah :
  1. Sebagaimana alam yang harus dipelajari dalam keadaan alami, manusia pun harus dipelajari dalam keadaan alami (naturalistik).
  2. Bila manusia memang punya kualitas-kualitas khas yang membedakan mereka dengan hewan, seperti punya kebebasan dan berfikir, mereka harus dipelajari dan diidentifikasi dalam keadaan seperti itu.
  3. Keunikan manusia itu bukan hanya otaknya yang jauh lebih berkembang daripada otak hewan lainnya, pita suaranya dan otot wajahnya yang memungkinkannya menciptakan berbagai macam suara, melainkan juga implikasi dari kemajuan fisiknya tersebut yaitu kemampuan mereka untuk berbahasa dan berfikir.
B.     Prisip Metodologi Interaksi Simbolik
Interaksionis simbolik berasumsi bahwa penelitian sistematik harus dilakukan dalam suatu lingkungan yangg alamiah alih-alih lingkungan yang artifisial seperti eksperimen. Varian-varianya mencakupi teori dan prosedur yang dikenal sebagai etnografi, fenomenologi, etnometodologi, interaksionisme simbolik, psikologi lingkungan, analisis semiotik dan studi kasus.
Lofland mengemukakan bahwa penelitian kualikatif ditaandai dengan jenis-jenis pertanyaaan yang diajukan. Adaa tujuh prinsip metodologi berdasarkan teori interaksi simboli[[4] :
1.      Simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas
2.      penelitian harus mengambil perspektif atau peran orang lain yanhg bertindak dan memandang dunia dari sudut pandang subjek
3.      Peneliti harus mengaitkan simbol dan defenisi subjek dengan hubungan sosial dan kelompok-kelompok yangg memberikan konsepsi demikian
4.      Setting prilaku dlaam interaksi tersebut dan pengamatan ilmiah harus dicatat
5.      Metodologi penelitian harus mampu mencerminkan proses atau perubahan, jugaa bentuk perilaku yangg statis.
6.      Pelaksanaan penelitian yangg baik dipandang sebagai suatu tindakan interaksi simbolik.
7.      Penggunaan konsep-konsep yang layak adalah pertama-tama mengarahkan dan kemudian operasional; teori Ɣğ layak menjadi formal, bukan teori agung atau teori menengaah dan proposisi yangg dibangun menjadi interaksional dan universal.
Interaksionisme simbolik merupakan suatu perspektif teoritis, namun Ĵ
ƍơ sekaligus orientasi metodologis. Akan tetapi metodolodi yangg disarankan oleh kaun interaksionis sebenarnya tidak ekslusif, namun mirip atau tumpang tindih dengan metode penelitian yangg dilakukan para peneliti berpandangan fenomenologis lainnya.
Meskipun perhatian interaksionisme simbolik pada aspek-aspek fenomenoligis prilaku manusia mempunyai implikasi metodolosis. Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan kualitas-kualitasnya, alih-alih perilaku manusia dan menganalisi kualitas-kualitasnya, alih-alih mengubahnya menjadi entitas-entitas kuantitatif. Seperti yangg ditegaskan silverman, permasalahan yangg dihadapi peneliti kuantitatif adalah bahwa mereka mengabaikan konstruksi sosial dan kultural dari variabel-variabel yangg ingin mereka korelasi.
C.     Inti Teori Interaksi Simbolik
Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Interaksionisme simbolik juga telah mengilhami perspektif-perspektif lain, seperti “teori penjulukan” (labeling theory) dalam studi tentang penyimpangan perilaku (deviance), perspektif dramaturgis dari Erving Goffman, dan etnometodologi dari Harold Garfinkel. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra mereka.
Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka sendirilah menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya, atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Tidak mengherankan bila frase-frase “definisi situasi”, “realitas terletak pada mata yang melihat”, dan “bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil, situasi tersebut riil dalam konsekuensinya” sering dihubungkan dengan interaksionisme simbolik.[[5]
Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol”. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang mempresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Penganut interaksi simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia disekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut oleh teori behavioristik atau teori struktural. Alih-alih, perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada.
D.    Asumsi-Asumsi Interaksi Simbolik
Rumusan yang paling ekonomis dari asumsi-asumsi interaksionisme simbolik datang dari karya Herbert Blumer yaitu :
  • Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki benda-benda itu bagi mereka.
  • Makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat manusia.
  • Makna-makna dimodifikasikan dan ditangani melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan tanda-tanda yang dihadapinya.
E.     Premis-Premis Interaksionisme Simbolik
  1. Individu merespons suatu situasi simbolik.
Individu dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri.
  1. Makna adalah produk interaksi sosial.
Oleh karena itu, makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.
  1. Makna yang diiterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.
Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya.
F.      Teori Tentang “Diri” Dari George Herbert Mead
Inti dari teori interaksi simbolik adalah teori tentang “diri” (self) dari George Herbert Mead, yang juga dilacak hingga definisi diri dari Charles Horton Cooley. Mead, seperti juga Cooley[[6], menganggap bahwa konsepsi-diri adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain.  Cooley berpendapat dalam teorinya the looking-glass self  bahwa konsep diri individu secara signifikan ditentukan oleh apa yang ia pikirkan tentang pikiran orang lain mengenai dirinya, jadi menekankan pentingnya respon orang lain yang ditafsirkan secara subjektif sebagai sumber primer data mengenai diri. Ringkasnya, apa yang diinternalisasikan sebagai milik individu berasal dari informasi yang ia terima dari orang lain. Sementara itu, pandangan Mead tentang diri terletak pada konep “pengambilan peran orang lain” (taking the role of the other). Konsep Mead tentang diri merupakan penjabaran “diri sosial” yang dikemukakan Wiliam James dan pengembangan dari teori Cooley tentang diri.
Bagi Mead dan pengikutnya, individu bersifat aktif, inovatif yang tidak saja tercipta secara sosial, namun tidak dapat diramalkan. Ia memandang tindakan manusia sebagai meliputi bukan saja tindakan terbuka, namun juga tindakan tertutup, jadi mengkonseptualisasikan perilaku dalam pengertian yang lebih luas.
Pentingnya Simbol dan Komunikasi
Bagi Cooley dan Mead, diri muncul karena komunikasi. Tanpa bahasa, diri tidak akan berkembang. Manusia unik karena mereka memiliki kemampuan memanipulasi simbol-simbol berdasarkan kesadaran. Mead menekankan pentingnya komunikasi, khususnya melalui mekanisme isyarat vokal (bahasa), meskipun teorinya bersifat umum. Isyarat vokallah yang potensial menjadi seperangkat simbol membentuk bahasa. Simbol adalah suatu rangakaian yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respon manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya, alih-alih dalam pengertian stimulasi fisik dari alat-alat indranya. Suatu simbol disebut signifikan atau memiliki makna bila simbol itu membangkitkan pada individu yang menyampaikannya respons yang sama seperti yang juga muncul pada individu yang dituju. Menurut Mead, hanya apabila kita memiliki simbol-simbol yang bermakna, kita berkomunikasi dalam arti yang sesungguhnya. Ringkasnya, dalam pandangan Mead isyarat yang dikuasai manusia berfungsi bagi manusia itu untuk membuat penyesuaian yang mungkin diantara individu-individu yang terlihat dalam setiap tindakan sosial dengan merujuk pada objek atau objek-objek yang berkaitan dengan tindakan tersebut.
Pikiran
Bagi Mead, tindakan verbal merupakan mekanisme utama interaksi manusia. Penggunaan bahasa atau isyarat simbolik oleh manusia dalam interaksi sosial mereka pada gilirannya memunculkan pikiran (mind) dan “diri” (self). Hanya melalui penggunaan simbol yang signifikan, khususnya bahasa, pikiran itu muncul, sementara hewan lebih rendah tidak berfikir, karena mereka tidak berbahasa seperti bahasa manusia. Mead mendefinisikan berfikir (thinking) sebgai “suatu percakapan terinternalisasikan atau implisit antara individu dengan dirinya sendiri menggunakan isyarat-isyarat demikian”.  Menurut teori interaksi simbolik, pikiran mensyaratkan adanya masyarakat, dengan kata lain, masyarakat harus lebih dulu ada, sebelum adanya pikiran. Dengan demikian pikiran adalah bagian dari proses sosial, bukan malah sebaliknya, proses sosial adalah produk pikiran.
Perkembangan “diri”
Diri merujuk kepada kapasitas dan pengalaman yang memungkinkan manusia menjadi objek bagi diri mereka. Kemunculannya bergantung pada kemampuan individu untuk mengambil peran orang lain dalam lingkungan sosialnya. Menurut Mead, perkembangan diri terdiri dari dua tahap umum yang ia sebut sebagai tahap permainan (play stage) ialah perkembangan pengambilan peran bersifat elemenr yang memungkinkan anak-anak melihat diri mereka sendiri dari perspektif orang lain yang dianggap penting (significant others). Dan tahap pertandingan (game stage) berasal dari proses pengambilan peran dan sikap orang lain secara umum (generalized others), yaitu masyarakat umumnya. Menurut Mead, sebagai suatu proses sosial, diri terdiri dari dua fase yaituAku” (I) dan “Daku” (Me). Aku adalah diri yang subyektif, diri yang refleksif yang mendefinisikan situasi dan merupakan kecenderungan impulsif individu untuk bertindak dalam suatu cara yang tidak terorganisasikan, tidak terarah, dan sponta. Sementara Daku adalah pengambilan peran dan sikap orang lain, termasuk suatu kelompok tertentu. Karena itu diri sebagai objeklah yang meliputi diri sosial, yang dipandang dan direspon oleh orang lain. Prinsip bahwa diri merefleksikan masyarakat membutuhkan suatu pandangan atas diri yang sesuai dengan realitas mengenai masyarakat kontemporer yang rumit. Artinya, bila hubungan sosial itu rumit, pastilah ada suatu kerumitan yang pararel dalam diri.
G.    Metodologi Penelitian Interaksi Simbolik
Interaksi simbolik termasuk ke dalam salah satu dari sejumlah tradisi penelitian kualitatif yang berasumsi bahwa penelitian sistematik harus dilakukan dalam suatu lingkungan yang alamiah dan bukan lingkungan artifisial seperti eksperimen. Secara lebih jelas Denzin mengemukakan tujuh prinsip metodologis berdasarkan teori interaksi simbolik, yaitu :
  • Simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas.
  • Peneliti harus mengambil perspektif atau peran orang lain yng bertindak (the acting other) dan memandang dunia dari sudut pandang subjek, namun dalam berbuat demikian peneliti harus membedakan antara konsepsi realitas kehidupan sehari-hari dengan konsepsi ilmiah mengenai realitas tersebut.
  • Peneliti harus mengaitkan simbol dan definisi subjek hubungan sosial dan kelompok-kelompok yang memberikan konsepsi demikian.
  • Setting perilaku dalam interaksi tersebut dan pengamatan ilmiah harus dicatat.
  • Metode penelitian harus mampu mencerminkan proses atau perubaha, juga bentuk perilaku yang yang statis.
  • Pelaksanan penelitian paling baik dipandang sebagai suatu tindakan interaksi simbolik.
  • Penggunaaan konsep-konsep yang layak adalah pertama-tama mengarahkan (sensitizing) dan kemudian operasional, teori yang layakmenjadi teori formal, bukan teori agung (grand theory) atau teori menegah (middle-range theory), dan proposisi yang dibangun menjadi interaksional dan universal.
Prinsip bahwa teori atau proposisi yang dihasilkan penelitian berdasarkan interaksionisme simbolik menjadi universal, sebagaimana diikemukakan Denzin diatas sejalan dengan pandangan Glaser dan Strauss yang upayanya untuk membangun “teori berdasarkan data” (grounded theory) dapat dianggap sebagai salah satu upaya serius untuk mengembangkan metodologi interaksionis simbolik. Hanya saja, meskipun bersifat induktif, pandangan Glaser dan Strauss mugkin terlalu idealis bagi sebagian penganut interaksionisme simbolik.


H.    Beberapa kritik atas teori interaksi simbolik menurut para ahli:
Beberapa kritik utama yang yang ditujukan terhadap perspektif teori ini yaitu[[7]:
  • Aliran utama interaksionisme simbolik dituduh terlalu mudah membuang teknik ilmiah konvensional. Eugene Weinstein daan Judith Tanur dengan tepat menyatakan hal ini: “Hanya karena kadar kesadaran itu kualitatif, tak berarti pengungkapan keluarnya tak dapat dikodekan, diklasifikasi, atau bahkan dihitung” (1976:105). Ilmu dan subjektivisme tidaklah saling terpisah satu sama lain.
  • M. Kuhn (1964), W. Kolb (1944), B. Meitzer, J. Petras dan L. Reynolds (1975), dan banyak lagi lainnya yang mengkritik ketidakjelasan konsep-konsep esensial Meadian seperti : pikiran, diri, I, dan Me. Lebih umum lagi Kuhn (1964) berbicara tentang ambiguitas dan kontradiksi dalam teori Mead. Di luar teori Meadin, mereka mengkritik berbagai konsep dasar teoritisi interaksionisme simbolik yang dinilai keliru, tidak tepat, dan karena itu tak mampu menyediakan basis yang kuat untuk membangun teori dan riset. Karena konsep-konsep itu tak tepat, maka sulit mengoperasionalisasikannya, akibatnya adalah tak dapat dihasilkan proposi-proposisi yang dapat diuji (Stryker, 1980).
  • Interaksionisme simbolik dikritik karena karena meremehkan atau mengabaikan  peran struktur berkala luas. Kritik ini diekspresikan dengan berbagai cara. Misalnya, Weinstein dan tanur mengatakan bahwa interaksionisme simbolik mengabaikan keterkaitan (connectedness) dari hasil-hasil (1976:106). Sheldon Stryker menyatakan bahwa pemusatan perhatian interaksionisme simbolik terhadap interaksi ditingkat mikro berfungsi “meminimalkan atau menyangkal fakta struktur sosial dan mempengaruhi gambaran kontrol masyarakat atas perilaku” (1980:146).
  • Interaksionisme simbolik tak cukup mikroskopik, mengabaikan peran penting faktor seperti ketidaksadaran dan emosi (Meltzer, Petras, Reynolds, 1975, Stryker, 1980). Begitu pula, interaksionisme simbolik dikritik karena mengabaikan faktor psikologis seperti kebutuhan, motif, tujuan, dan aspirasi. Dalam upaya mereka untuk menyangkal adanya kekuatan abadi yang memaksa aktor bertindak, teoritisi interaksionisme simbolik malahan memusatkan perhatian pada arti, simbol, tindakan, dan interaksi. Mereka mengabaikan faktor psikologis yang mungkin membatasi atau menekan aktor. Dalam kedua kasus ini, teoritisi interaksionisme simbolik dituduh membuat “pemujaan mutlak” terhadap kehidupan sehari-hari (Meltzer, Petras, dan Reynolds, 1975:85). Pemusatan perhatian terhadap kehidupan sehari-hari ini selanjutnya menandai penekanan berlebihan terhadap situasi langsung dan “perhatian yang obsesif terhadap situasi sementara, episodik, dan singkat” (Meltzer, Petras, dan Reynolds, 1975:85)
Daftar Pustaka
Heribertus, B. Sutopo. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk penelitian kualitatif, (Surakarta\: 1996). h. 29-30
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualikatif: Paradigma BaruIlmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung:2008).
http://sinaukomunikasi.wordpress.com
http://vandenbosh.blogspot.com




[1] B. Sutopo Heribertus,  Metodologi Penelitian Kualitatif untuk penelitian kualitatif, (Surakarta\: 1996). h. 29-30
[2] Dr. Deddy Mulyana, M.A, Metodologi Penelitian Kualikatif: Paradigma BaruIlmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung:2008). H.64
[3] Ibid-Hal 67
[4] http://vandenbosh.blogspot.com/2012/09/penelitian-kualitatof-bag-iii.html
[5] Dr. Deddy Mulyana, M.A, Metodologi Penelitian Kualikatif: Paradigma BaruIlmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung:2008). H.70, Lihat jugaJones,1985,hal. 60.
[6] Dr. Deddy Mulyana, M.A, Metodologi Penelitian Kualikatif: Paradigma BaruIlmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung:2008). h.73
[7] http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2011/08/20/interaksi-simbolik/

2 komentar:

  1. makasih ya informasinya..cz dah membantu saya dalam menyelesaikan tugas kuliah.

    BalasHapus
  2. Sama sama ..."hendaknya yng mengetahui menyampaikan kepada yng tidak tahu ."

    BalasHapus

Makasih dah kasih saran atau komentarnya ...

Designed By