Oleh: Muhammad Syafii & Eddy Kurniawan
Latar Belakang
Paradigma definisi sosial adalah salah satu aspek khusus
dari karya Weber yang dalam analisanya tentang tindakan social (social Action).
Ada tiga teori yang termasuk dalam paradigma
definisi social ini yaitu teori Aksi (Action),
Interaksionisme Simbolik (symbolic
interaktinism), dan fenomenologi (phenomenology).
Herbert Blumer sebagai salah seorang tokoh interaksionisme simbolik menyatakan
bahwa organisasi masyarakat manusia merupakan kerangka di mana terdapat
tindakan sosial yang bukan ditentukan oleh kelakuan individunya.
Interaksi
simbolik dalam sosiologi juga menunjang dan mewarnai kegiatan penelitian
kualitatif. Sejalan dengan pendekatan fenomenologis, dasar pandangan atas
interaksi simbolik adalah asumsi bahwa pengalama n manusia diperoleh lewat
iterpretasi. Objek, situasi, orang dan peristiwa, tidak memiliki maknanya
sendiri.[[1]
Model
penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan
pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan aspek
masyarakat dan atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau awalnya
lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga
diminati oleh peneliti budaya. Perspektif interaksi simbolik berusaha
memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi.
Interaksi simbolik lebih menekankan pada maknainteraksi budaya sebuah
komunitas.
Interaksi simbolik adalah interaksi yang memunculkan makna khusus dan
menimbulkan interpretasi atau penafsiran. Simbolik berasal dari kata ’simbol’
yakni tanda yang muncul dari hasil kesepakatan bersama. Bagaimana suatu hal
menjadi perspektif bersama, bagaimana suatu tindakan memberi makna-makna khusus
yang hanya dipahami oleh orang-orang yang melakukannya, bagaimana tindakan dan
perspektif tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi subyek, semua dikaji oleh para
penganut interaksinisme atau interaksionis simbolik.
Premis perbedaan mendasar antara fenomenologi dan interaksi simbolik muncul
dari makna katanya sendiri: fenomena dan interaksi. Fenomenologi bertumpu
pada pemahamanterhadap pengalaman subyektif atas gejala alamiah (fenomena)
atau peristiwa dan kaitan-kaitannya, sedangkan interaksi simbolik bertumpu
pada penafsiran atas pemaknaan subyektif (simbolik) yang
muncul dari hasil interaksi. Pada fenomenologi, ibarat fotografer,
peneliti ’merekam’ dunia (pengalaman, pemikiran, dan perasaan subyektif) si
subyek dan mencoba memahami atau menyelaminya, sedangkan pada interaksi
simbolik, peneliti menafsirkan makna-makna simbolik yang muncul dari hasil interaksi
subyek dengan lingkungannya dengan cara memasuki dunianya dan menelusuri proses
pemaknaan tersebut.
A. Akar Teori Interaksi Simbolik
Menurut banyak pakar pemikiran George Herbert
Mead, sebagai tokoh sentral teori ini, berlandaskan pada beberapa cabang
filsafat antara lain pragmatisme, dan behaviorisme.
Ø Pragmatisme
Dirumuskan oleh John Dewey, Wiliam James,
Charles Peirce, Josiah Royce, aliran filsafat ini memiliki beberapa pandangan
yaitu [[2] :
- Realitas
yang sejati tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif
diciptakan ketika kita bertindak di dan terhadap dunia.
- Percaya
bahwa manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia
pada apa yang terbukti berguna bagi mereka.
- Manusia
mendefinisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui berdasarkan
kegunaannya bagi mereka, termasuk tujuan mereka.
- Bila kita
ingin memahami orang yang melakukan tindakan (aktor), kita harus
mendasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di
dunia.
Ø Behaviorisme
Menurut Mead, manusia harus dipahami
berdasarkan pada apa yang mereka lakukan. Namun, manusia punya kualitas lain
yang membedakannya dengan hewan lain. Kaum behavioris berkilah bahwa
satu-satunya cara sah secara ilmiah untuk memahami semua hewan, termasuk
manusia, adalah dengan mengamati perilaku mereka secara langsung dan seksama.
Mead menolak gagasan itu, menurutnya pengamatan atas perilaku luar manusia
semata menafikan kualitas penting manusia yang berbeda dengan kualitas alam.
Pandangan behavirisme terbagi menjadi dua yaitu :
- Behaviorisme
Radikal John Watson.
a. Behaviorisme radikal mereduksi
perilaku manusia kepada mekanisme yang sama dengan yang ditemukan pada tingkat
hewan lebih rendah (inframanusia).
b. Manusia sebagai makhluk yang pasif,
tidak berfikir, yang perilakunya ditentukan oleh rangsangan di luar dirinya.
c. Menolak gagasan bahwa manusia memiliki
kesadaran, bahwa terjadi suatu proses mental tersembunyi yang berlangsung pada
diri individu di antara datangnya stimulus dan bangkitnya perilaku.
2. Behaviorisme Sosial George
Herbert Mead.
a. Behaviorisme sosial merujuk pada deskripsi
perilaku pada tingkat yang khas manusia.
b. Konsep dasarnya ialah tindakan sosial
(social act), yang juga mempertimbangkan aspek tersembunyi, yang
membedakan perilaku manusia dengan perilaku hewan.
c. Menganggap perilaku manusia sebagai perilaku
sosial., sebab substansi dan eksistensi perilaku manusia hanya dapat dijelaskan
dengan mempertimbangkan basis sosialnya.
Dapat disimpulkan, bahwa Mead telah memperluas
teori behavioristik ini dengan memasukkan apa yang terjadi antara stimulus dan
respon itu. Ia berhutang budi pada behaviorisme tetapi sekaligus juga
memisahkan diri darinya, karena bagi Mead, manusia jauh lebih dinamis dan
kreatif.
Ø Teori Evolusi Darwin
Teori Darwin menekankan pandangan bahwa semua
perilaku organisme, termasuk perilaku manusia, bukanlah perilaku acak,
melainkan dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka
masing-masing. Organisme juga dapat mempengaruhi lingkungan, sehingga juga
mengubah pengaruh lingkungan terhadap organisme.[[3] Aspek
pandangan lain Darwin yang dianggap berpengaruh tersebut adalah :
- Sebagaimana
alam yang harus dipelajari dalam keadaan alami, manusia pun harus
dipelajari dalam keadaan alami (naturalistik).
- Bila
manusia memang punya kualitas-kualitas khas yang membedakan mereka dengan
hewan, seperti punya kebebasan dan berfikir, mereka harus dipelajari dan
diidentifikasi dalam keadaan seperti itu.
- Keunikan
manusia itu bukan hanya otaknya yang jauh lebih berkembang daripada otak hewan
lainnya, pita suaranya dan otot wajahnya yang memungkinkannya menciptakan
berbagai macam suara, melainkan juga implikasi dari kemajuan fisiknya
tersebut yaitu kemampuan mereka untuk berbahasa dan berfikir.
B.
Prisip Metodologi Interaksi Simbolik
Interaksionis
simbolik berasumsi bahwa penelitian sistematik harus dilakukan dalam suatu
lingkungan yangg alamiah alih-alih lingkungan yang artifisial seperti
eksperimen. Varian-varianya mencakupi teori dan prosedur yang dikenal sebagai
etnografi, fenomenologi, etnometodologi, interaksionisme simbolik, psikologi
lingkungan, analisis semiotik dan studi kasus.
Lofland
mengemukakan bahwa penelitian kualikatif ditaandai dengan jenis-jenis
pertanyaaan yang diajukan. Adaa tujuh prinsip metodologi berdasarkan teori
interaksi simboli[[4]
:
1. Simbol
dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas
2. penelitian
harus mengambil perspektif atau peran orang lain yanhg bertindak dan memandang
dunia dari sudut pandang subjek
3. Peneliti
harus mengaitkan simbol dan defenisi subjek dengan hubungan sosial dan
kelompok-kelompok yangg memberikan konsepsi demikian
4. Setting
prilaku dlaam interaksi tersebut dan pengamatan ilmiah harus dicatat
5. Metodologi
penelitian harus mampu mencerminkan proses atau perubahan, jugaa bentuk
perilaku yangg statis.
6. Pelaksanaan
penelitian yangg baik dipandang sebagai suatu tindakan interaksi simbolik.
7. Penggunaan
konsep-konsep yang layak adalah pertama-tama mengarahkan dan kemudian
operasional; teori Ɣğ layak menjadi formal, bukan teori agung atau teori
menengaah dan proposisi yangg dibangun menjadi interaksional dan universal.
Interaksionisme simbolik merupakan suatu perspektif teoritis, namun Ĵยƍơ sekaligus orientasi metodologis. Akan tetapi metodolodi yangg disarankan oleh kaun interaksionis sebenarnya tidak ekslusif, namun mirip atau tumpang tindih dengan metode penelitian yangg dilakukan para peneliti berpandangan fenomenologis lainnya.
Interaksionisme simbolik merupakan suatu perspektif teoritis, namun Ĵยƍơ sekaligus orientasi metodologis. Akan tetapi metodolodi yangg disarankan oleh kaun interaksionis sebenarnya tidak ekslusif, namun mirip atau tumpang tindih dengan metode penelitian yangg dilakukan para peneliti berpandangan fenomenologis lainnya.
Meskipun
perhatian interaksionisme simbolik pada aspek-aspek fenomenoligis prilaku
manusia mempunyai implikasi metodolosis. Penelitian kualitatif bertujuan
mempertahankan kualitas-kualitasnya, alih-alih perilaku manusia dan menganalisi
kualitas-kualitasnya, alih-alih mengubahnya menjadi entitas-entitas kuantitatif.
Seperti yangg ditegaskan silverman, permasalahan yangg dihadapi peneliti
kuantitatif adalah bahwa mereka mengabaikan konstruksi sosial dan kultural dari
variabel-variabel yangg ingin mereka korelasi.
C.
Inti Teori
Interaksi Simbolik
Esensi interaksi simbolik adalah suatu
aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran
simbol yang diberi makna. Interaksionisme simbolik juga telah mengilhami
perspektif-perspektif lain, seperti “teori penjulukan” (labeling theory) dalam
studi tentang penyimpangan perilaku (deviance), perspektif dramaturgis
dari Erving Goffman, dan etnometodologi dari Harold Garfinkel. Perspektif
interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang
subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai
proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan
mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra mereka.
Definisi yang mereka berikan kepada orang lain,
situasi, objek, dan bahkan diri mereka sendirilah menentukan perilaku mereka.
Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls,
tuntutan budaya, atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanya berdasarkan
definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Tidak
mengherankan bila frase-frase “definisi situasi”, “realitas terletak pada mata
yang melihat”, dan “bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil, situasi
tersebut riil dalam konsekuensinya” sering dihubungkan dengan interaksionisme
simbolik.[[5]
Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana
ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan
dan menegakkan kehidupan kelompok. Menurut teoritisi interaksi simbolik,
kehidupan sosial pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan menggunakan
simbol-simbol”. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol
yang mempresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan
sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini
terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Penganut
interaksi simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk
dari interpretasi mereka atas dunia disekeliling mereka, jadi tidak mengakui
bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut oleh teori
behavioristik atau teori struktural. Alih-alih, perilaku dipilih sebagai hal
yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada.
D.
Asumsi-Asumsi
Interaksi Simbolik
Rumusan yang paling ekonomis dari asumsi-asumsi
interaksionisme simbolik datang dari karya Herbert Blumer yaitu :
- Manusia
bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki benda-benda itu
bagi mereka.
- Makna-makna
itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat manusia.
- Makna-makna
dimodifikasikan dan ditangani melalui suatu proses penafsiran yang
digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan tanda-tanda
yang dihadapinya.
E.
Premis-Premis
Interaksionisme Simbolik
- Individu merespons
suatu situasi simbolik.
Individu dipandang aktif untuk menentukan
lingkungan mereka sendiri.
- Makna
adalah produk interaksi sosial.
Oleh karena itu, makna tidak melekat pada
objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.
- Makna yang
diiterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan
dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.
Perubahan interpretasi dimungkinkan karena
individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya.
F.
Teori Tentang
“Diri” Dari George Herbert Mead
Inti dari teori interaksi simbolik adalah teori
tentang “diri” (self) dari George Herbert Mead, yang juga dilacak hingga
definisi diri dari Charles Horton Cooley. Mead, seperti juga Cooley[[6], menganggap
bahwa konsepsi-diri adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial
individu dengan orang lain. Cooley berpendapat dalam teorinya the
looking-glass self bahwa konsep diri individu secara signifikan
ditentukan oleh apa yang ia pikirkan tentang pikiran orang lain mengenai
dirinya, jadi menekankan pentingnya respon orang lain yang ditafsirkan secara
subjektif sebagai sumber primer data mengenai diri. Ringkasnya, apa yang
diinternalisasikan sebagai milik individu berasal dari informasi yang ia terima
dari orang lain. Sementara itu, pandangan Mead tentang diri terletak
pada konep “pengambilan peran orang lain” (taking the role of the other). Konsep
Mead tentang diri merupakan penjabaran “diri sosial” yang dikemukakan
Wiliam James dan pengembangan dari teori Cooley tentang diri.
Bagi Mead dan pengikutnya, individu bersifat
aktif, inovatif yang tidak saja tercipta secara sosial, namun tidak dapat
diramalkan. Ia memandang tindakan manusia sebagai meliputi bukan saja tindakan
terbuka, namun juga tindakan tertutup, jadi mengkonseptualisasikan perilaku
dalam pengertian yang lebih luas.
v Pentingnya Simbol dan Komunikasi
Bagi Cooley dan Mead, diri muncul karena
komunikasi. Tanpa bahasa, diri tidak akan berkembang. Manusia unik
karena mereka memiliki kemampuan memanipulasi simbol-simbol berdasarkan
kesadaran. Mead menekankan pentingnya komunikasi, khususnya melalui mekanisme
isyarat vokal (bahasa), meskipun teorinya bersifat umum. Isyarat vokallah yang
potensial menjadi seperangkat simbol membentuk bahasa. Simbol adalah suatu
rangakaian yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan
respon manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya,
alih-alih dalam pengertian stimulasi fisik dari alat-alat indranya. Suatu
simbol disebut signifikan atau memiliki makna bila simbol itu membangkitkan
pada individu yang menyampaikannya respons yang sama seperti yang juga muncul
pada individu yang dituju. Menurut Mead, hanya apabila kita memiliki
simbol-simbol yang bermakna, kita berkomunikasi dalam arti yang sesungguhnya.
Ringkasnya, dalam pandangan Mead isyarat yang dikuasai manusia berfungsi bagi
manusia itu untuk membuat penyesuaian yang mungkin diantara individu-individu
yang terlihat dalam setiap tindakan sosial dengan merujuk pada objek atau
objek-objek yang berkaitan dengan tindakan tersebut.
v Pikiran
Bagi Mead, tindakan verbal merupakan mekanisme
utama interaksi manusia. Penggunaan bahasa atau isyarat simbolik oleh manusia
dalam interaksi sosial mereka pada gilirannya memunculkan pikiran (mind) dan
“diri” (self). Hanya melalui penggunaan simbol yang signifikan,
khususnya bahasa, pikiran itu muncul, sementara hewan lebih rendah tidak berfikir,
karena mereka tidak berbahasa seperti bahasa manusia. Mead mendefinisikan
berfikir (thinking) sebgai “suatu percakapan terinternalisasikan atau
implisit antara individu dengan dirinya sendiri menggunakan isyarat-isyarat
demikian”. Menurut teori interaksi simbolik, pikiran mensyaratkan adanya
masyarakat, dengan kata lain, masyarakat harus lebih dulu ada, sebelum adanya
pikiran. Dengan demikian pikiran adalah bagian dari proses sosial, bukan malah
sebaliknya, proses sosial adalah produk pikiran.
v Perkembangan “diri”
Diri merujuk kepada kapasitas dan pengalaman yang
memungkinkan manusia menjadi objek bagi diri mereka. Kemunculannya bergantung
pada kemampuan individu untuk mengambil peran orang lain dalam lingkungan
sosialnya. Menurut Mead, perkembangan diri terdiri dari dua tahap umum
yang ia sebut sebagai tahap permainan (play stage) ialah perkembangan
pengambilan peran bersifat elemenr yang memungkinkan anak-anak melihat diri
mereka sendiri dari perspektif orang lain yang dianggap penting (significant
others). Dan tahap pertandingan (game stage) berasal dari proses
pengambilan peran dan sikap orang lain secara umum (generalized others), yaitu
masyarakat umumnya. Menurut Mead, sebagai suatu proses sosial, diri terdiri
dari dua fase yaitu “Aku” (I) dan “Daku” (Me). Aku
adalah diri yang subyektif, diri yang refleksif yang
mendefinisikan situasi dan merupakan kecenderungan impulsif individu untuk
bertindak dalam suatu cara yang tidak terorganisasikan, tidak terarah, dan
sponta. Sementara Daku adalah pengambilan peran dan sikap orang lain,
termasuk suatu kelompok tertentu. Karena itu diri sebagai objeklah yang
meliputi diri sosial, yang dipandang dan direspon oleh orang lain.
Prinsip bahwa diri merefleksikan masyarakat membutuhkan suatu pandangan
atas diri yang sesuai dengan realitas mengenai masyarakat kontemporer
yang rumit. Artinya, bila hubungan sosial itu rumit, pastilah ada suatu
kerumitan yang pararel dalam diri.
G.
Metodologi
Penelitian Interaksi Simbolik
Interaksi simbolik termasuk ke dalam salah satu
dari sejumlah tradisi penelitian kualitatif yang berasumsi bahwa penelitian
sistematik harus dilakukan dalam suatu lingkungan yang alamiah dan bukan
lingkungan artifisial seperti eksperimen. Secara lebih jelas Denzin
mengemukakan tujuh prinsip metodologis berdasarkan teori interaksi simbolik,
yaitu :
- Simbol dan
interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas.
- Peneliti
harus mengambil perspektif atau peran orang lain yng bertindak (the
acting other) dan memandang dunia dari sudut pandang subjek, namun dalam
berbuat demikian peneliti harus membedakan antara konsepsi realitas
kehidupan sehari-hari dengan konsepsi ilmiah mengenai realitas tersebut.
- Peneliti
harus mengaitkan simbol dan definisi subjek hubungan sosial dan
kelompok-kelompok yang memberikan konsepsi demikian.
- Setting perilaku
dalam interaksi tersebut dan pengamatan ilmiah harus dicatat.
- Metode
penelitian harus mampu mencerminkan proses atau perubaha, juga bentuk
perilaku yang yang statis.
- Pelaksanan
penelitian paling baik dipandang sebagai suatu tindakan interaksi
simbolik.
- Penggunaaan
konsep-konsep yang layak adalah pertama-tama mengarahkan (sensitizing)
dan kemudian operasional, teori yang layakmenjadi teori formal, bukan
teori agung (grand theory) atau teori menegah (middle-range
theory), dan proposisi yang dibangun menjadi interaksional dan
universal.
Prinsip bahwa teori atau proposisi yang
dihasilkan penelitian berdasarkan interaksionisme simbolik menjadi universal,
sebagaimana diikemukakan Denzin diatas sejalan dengan pandangan Glaser dan Strauss
yang upayanya untuk membangun “teori berdasarkan data” (grounded theory) dapat
dianggap sebagai salah satu upaya serius untuk mengembangkan metodologi
interaksionis simbolik. Hanya saja, meskipun bersifat induktif, pandangan
Glaser dan Strauss mugkin terlalu idealis bagi sebagian penganut
interaksionisme simbolik.
H.
Beberapa kritik atas
teori interaksi simbolik menurut para ahli:
- Aliran
utama interaksionisme simbolik dituduh terlalu mudah membuang teknik
ilmiah konvensional. Eugene Weinstein daan Judith Tanur dengan tepat
menyatakan hal ini: “Hanya karena kadar kesadaran itu kualitatif, tak
berarti pengungkapan keluarnya tak dapat dikodekan, diklasifikasi, atau
bahkan dihitung” (1976:105). Ilmu dan subjektivisme tidaklah saling
terpisah satu sama lain.
- M. Kuhn
(1964), W. Kolb (1944), B. Meitzer, J. Petras dan L. Reynolds (1975), dan
banyak lagi lainnya yang mengkritik ketidakjelasan konsep-konsep esensial
Meadian seperti : pikiran, diri, I, dan Me. Lebih umum lagi
Kuhn (1964) berbicara tentang ambiguitas dan kontradiksi dalam teori Mead.
Di luar teori Meadin, mereka mengkritik berbagai konsep dasar teoritisi
interaksionisme simbolik yang dinilai keliru, tidak tepat, dan karena itu
tak mampu menyediakan basis yang kuat untuk membangun teori dan riset.
Karena konsep-konsep itu tak tepat, maka sulit mengoperasionalisasikannya,
akibatnya adalah tak dapat dihasilkan proposi-proposisi yang dapat diuji
(Stryker, 1980).
- Interaksionisme
simbolik dikritik karena karena meremehkan atau mengabaikan peran
struktur berkala luas. Kritik ini diekspresikan dengan berbagai cara.
Misalnya, Weinstein dan tanur mengatakan bahwa interaksionisme simbolik mengabaikan
keterkaitan (connectedness) dari hasil-hasil (1976:106). Sheldon
Stryker menyatakan bahwa pemusatan perhatian interaksionisme simbolik
terhadap interaksi ditingkat mikro berfungsi “meminimalkan atau menyangkal
fakta struktur sosial dan mempengaruhi gambaran kontrol masyarakat atas
perilaku” (1980:146).
- Interaksionisme simbolik tak cukup mikroskopik, mengabaikan peran penting faktor seperti ketidaksadaran dan emosi (Meltzer, Petras, Reynolds, 1975, Stryker, 1980). Begitu pula, interaksionisme simbolik dikritik karena mengabaikan faktor psikologis seperti kebutuhan, motif, tujuan, dan aspirasi. Dalam upaya mereka untuk menyangkal adanya kekuatan abadi yang memaksa aktor bertindak, teoritisi interaksionisme simbolik malahan memusatkan perhatian pada arti, simbol, tindakan, dan interaksi. Mereka mengabaikan faktor psikologis yang mungkin membatasi atau menekan aktor. Dalam kedua kasus ini, teoritisi interaksionisme simbolik dituduh membuat “pemujaan mutlak” terhadap kehidupan sehari-hari (Meltzer, Petras, dan Reynolds, 1975:85). Pemusatan perhatian terhadap kehidupan sehari-hari ini selanjutnya menandai penekanan berlebihan terhadap situasi langsung dan “perhatian yang obsesif terhadap situasi sementara, episodik, dan singkat” (Meltzer, Petras, dan Reynolds, 1975:85)
Daftar Pustaka
Heribertus, B. Sutopo. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk penelitian kualitatif, (Surakarta\: 1996). h. 29-30
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualikatif: Paradigma BaruIlmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung:2008).
http://sinaukomunikasi.wordpress.com
http://vandenbosh.blogspot.com
[1] B. Sutopo Heribertus, Metodologi
Penelitian Kualitatif
untuk penelitian kualitatif, (Surakarta\: 1996). h. 29-30
[2] Dr. Deddy Mulyana,
M.A, Metodologi Penelitian Kualikatif: Paradigma BaruIlmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung:2008). H.64
[5] Dr. Deddy Mulyana, M.A, Metodologi Penelitian Kualikatif: Paradigma
BaruIlmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung:2008). H.70, Lihat
jugaJones,1985,hal. 60.
[6] Dr. Deddy
Mulyana, M.A, Metodologi Penelitian Kualikatif: Paradigma BaruIlmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung:2008). h.73
makasih ya informasinya..cz dah membantu saya dalam menyelesaikan tugas kuliah.
BalasHapusSama sama ..."hendaknya yng mengetahui menyampaikan kepada yng tidak tahu ."
BalasHapus