Oleh
: Miftahuddin*
Anggota API
”Ya
Allah, kasian sekali nasi-nasi ini, padahal di luar sana masih banyak
orang-orang yang setengah mati “membanting tulang” mencari nafkah hanya untuk
sepiring nasi” ucapku dalam hati di saat selasai makan ketika aku melihat
sisa-sisa nasi dan bahkan lauknya yang dibuang di dalam baskom yang berukuran
sedang, tempat pembuangan sisa-sisa nasi setelah santri-santri makan.
Yang
paling membuatku sedih ialah hal ini terjadi di dalam pesantren dan yang melakukannya
adalah santri-santri itu sendiri, bukankah santri-santri itu lebih mengetahui
akan keburukan dan akibat dari pada mubazir tersebut. Dan sifat mubazir
tersebut hanya di miliki oleh orang-orang yang beridentitas selain muslim, dan
tidak semestinya kita mencontohnya, selain itu juga perbuatan tersebut
merupakan hal yang dibenci oleh Allah SWT.
Mari
kita bayangkan sejenak, akan nasib Mulyono seorang penarik becak di kawasan
Jember, Jawa Timur, ketika ia didera sakit, terpaksa makan dengan nasi aking,
atau sisa-sisa nasi tak termakan dan dijemur di terik matahari. Hal itu
terpaksa ia lakukan karena tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli nasi
putih untuk dimakan oleh keluarganya.(majalah suara Hidayatullah edisi 8
desember 2011)
Maka
masihkah kita suka untuk mubazir di saat masih banyak saudara-saudara kita yang
mana mereka belum bisa menikmati makan-makanan enak, seperti yang selalu kita
makan dan kita nikmati di pesantren?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih dah kasih saran atau komentarnya ...